Isi Konten
ToggleNama Yahya Waloni cukup dikenal masyarakat Indonesia, terutama karena perjalanannya yang tak biasa dari seorang pemuka agama Kristen menjadi pendakwah Islam. Dia bukan hanya seorang mualaf biasa, melainkan juga figur yang sering memicu perdebatan lantaran cara bicaranya yang lugas dan tanpa basa-basi.
Dalam artikel ini, kita akan membahas biografi Yahya Waloni secara mendalam—mulai dari latar belakang keluarganya, proses berpindah agama, aktivitas dakwah, hingga tutup usia-nya. Jejak hidupnya memperlihatkan dengan gamblang bagaimana berbagai keputusan krusial dapat membentuk watak pribadi sekaligus memengaruhi cara publik memandangnya.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Yahya Yopie Waloni lahir pada tanggal 30 November 1970 di Manado, Sulawesi Utara. Ia berasal dari lingkungan keluarga Kristen yang taat dan religius. Sejak masa remaja, Yahya telah memperlihatkan minat yang mendalam terhadap ranah keagamaan. Peristiwa tersebut mendorongnya melanjutkan studi di bidang teologi hingga akhirnya menapaki jalan sebagai seorang pendeta.
Karier awalnya cukup cemerlang. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong pada tahun 2000 hingga 2004. Tidak hanya itu, ia juga pernah mengajar sebagai dosen di Universitas Balikpapan sekitar tahun 2006.
Kegiatan intelektual dan keagamaannya itu membuktikan bahwa dia bukanlah figur biasa di kalangan gereja pada masa itu. Namun, perjalanan hidupnya berubah haluan secara signifikan setelah tahun 2006.
Yahya Waloni jadi Mualaf
Salah satu titik balik terbesar dalam biografi Yahya Waloni terjadi pada tanggal 11 Oktober 2006, ketika ia resmi menyatakan diri masuk Islam. Pilihan ini tak hanya mengejutkan banyak orang, tapi juga menimbulkan perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Proses berpindah agama tersebut ia lakukan secara formal melalui bimbingan tokoh Nahdlatul Ulama di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Nama aslinya, Yahya Yopie Waloni, tetap ia gunakan dalam kehidupan sehari-hari meskipun dalam konteks keislaman ia memperkenalkan diri sebagai Muhammad Yahya. Istrinya yang sebelumnya bernama Lusiana juga ikut berpindah keyakinan dan mengganti nama menjadi Mutmainnah. Ketiga anaknya pun menyusul dan turut menggunakan nama-nama Islami.
Keputusan ini disebut-sebut berangkat dari pergulatan batin panjang yang ia alami selama menjalani kehidupan sebagai pendeta. Namun banyak pula yang menilai bahwa perubahan ini berkaitan dengan pencarian pribadi terhadap makna kehidupan dan kebenaran spiritual.
Peran Sebagai Penceramah Islam
Setelah resmi memeluk Islam (mualaf), Yahya Waloni pun mulai menjalankan perannya sebagai dai yang aktif berdakwah. Ia kerap diundang dalam berbagai acara dakwah di sejumlah daerah. Karakternya yang lantang, tegas, dan terkadang provokatif membuat ceramah-ceramahnya viral di media sosial, terutama YouTube.
Namun inilah titik awal di mana biografi Yahya Waloni mulai dibumbui dengan kontroversi. Banyak ceramahnya yang menyinggung agama lain dan dinilai tidak menjaga etika dakwah. Sebagian kalangan umat Islam mengapresiasi cara ceramahnya, sementara sebagian lain menilai pendekatannya terlalu keras dan malah menghambat semangat toleransi antarumat beragama.
Gaya ceramahnya menjadi pedang bermata dua—di satu sisi membangkitkan semangat dakwah, di sisi lain memicu polemik dan kritik tajam dari berbagai pihak.
Yahya Waloni kerap membandingkan isi Al-Quran dan Alkitab, dengan sorotan pada beberapa topik utama seperti: Perubahan yang terjadi pada Alkitab (tahrif), Inkonsistensi dan kontradiksi yang ditemukan dalam Alkitab, dan Perbedaan konsep ketuhanan Yesus dibandingkan dengan prinsip tauhid dalam Islam.
Dalam ceramahnya dengan Gaya Penyampaian yang Tegas dan Kadang Memancing Reaksi, Ustadz Yahya sering menggunakan bahasa yang lugas dan tanpa basa-basi, contohnya:
“Ini bukan penghinaan, melainkan fakta!”
“Keaslian Alkitab sudah diragukan, dan bukti-buktinya ada!”
Ceramah-ceramahnya secara rutin diunggah ke YouTube, TikTok, dan Facebook, sehingga menjangkau audiens yang luas. Video-video debatnya dengan tokoh agama lain maupun kritikannya terhadap ajaran Kristen sering kali mendapatkan jutaan penonton dan viral di media sosial.
Masalah Hukum dan Penahanan
Puncak dari kontroversi Yahya Waloni terjadi pada tahun 2021 ketika ia ditangkap oleh pihak kepolisian. Penangkapan ini dilakukan oleh Direktorat Siber Bareskrim Polri terkait dugaan ujaran kebencian dan penistaan agama dalam salah satu ceramahnya yang viral di media sosial.
Ia dikenai Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE dan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara. Penangkapannya memunculkan perdebatan sengit di kalangan masyarakat, antara yang menilai ini sebagai bentuk penegakan hukum terhadap ujaran kebencian, dan yang menganggapnya sebagai pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.
Selama proses hukum, Yahya sempat mengalami masalah kesehatan. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit Polri karena pembengkakan jantung sebelum akhirnya kembali ditahan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memvonisnya 5 bulan penjara dan denda sebesar Rp50 juta. Ia tidak mengajukan banding dan menerima putusan tersebut. Ia akhirnya dibebaskan pada 31 Januari 2022 setelah menjalani masa tahanan.
Refleksi dan Pengakuan Diri
Setelah bebas dari penjara, Yahya Waloni membuat pernyataan publik yang mengejutkan. Ia mengakui bahwa gaya dakwahnya di masa lalu kerap diwarnai emosi dan kebencian. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa waktu yang dihabiskan dalam tahanan memberinya ruang untuk merenung dan memahami pentingnya toleransi beragama.
Bahkan, Yahya mengungkapkan bahwa selama ia menjalani masa tahanan, ia justru banyak dibantu oleh rekan-rekan sesama tahanan yang beragama Nasrani. Hal tersebut membuka matanya bahwa kehidupan tidak selalu hitam-putih, dan bahwa saling menghargai lintas iman jauh lebih penting daripada menebar kebencian.
Bagian ini menjadi salah satu segmen paling reflektif dalam biografi Yahya Waloni, di mana ia menunjukkan bahwa seseorang bisa mengalami perubahan pemikiran bahkan setelah menyuarakan opini yang keras.
Buku dan Tulisan Yahya Waloni
Yahya Waloni telah menulis beberapa buku yang berfokus pada dakwah Islam dan pengalaman spiritualnya setelah memeluk Islam. Karya-karyanya ini berisi refleksi pribadi, ajaran Islam, dan kritik sosial yang seringkali menjadi bahan diskusi publik. Buku-buku tersebut menjadi sumber inspirasi sekaligus kontroversi karena bahasanya yang lugas dan kadang keras.
Beberapa judul buku yang cukup dikenal antara lain:
“Hidayah Dari Jalan Yang Berliku” – yang menceritakan perjalanan hidup dan proses mualaf Yahya Waloni.
“Menegakkan Tauhid di Zaman Modern” – fokus pada penguatan akidah dan dakwah di era modern.
“Refleksi Dakwah dan Kontroversi” – membahas tantangan dakwah dan kritik yang ia terima selama ini.
Selain buku, Yahya juga rutin membuat konten dakwah berupa video ceramah yang diunggah di YouTube dan media sosial lain. Kontennya banyak menarik perhatian dan diskusi, baik dari kalangan pendukung maupun pengkritiknya.
Penutup Biografi Yahya Waloni
Pada Jumat, 6 Juni 2025, Yahya Waloni meninggal dunia saat menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Darul Falah, Minasa Upa, Makassar. Menurut laporan, ia tiba-tiba roboh di mimbar dan dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun nyawanya tidak tertolong.
Istrinya, Fipil Filawati, mengungkapkan bahwa sebelum kejadian tersebut, Yahya sempat mengeluhkan sakit kepala dan bertanya apakah ia mampu melanjutkan khutbah. Ia juga memiliki riwayat penyakit jantung, meskipun tidak ada keluhan serius sebelumnya.
Biografi Yahya Waloni menunjukkan bahwa hidup manusia penuh dengan perubahan, tantangan, dan pembelajaran. Dari seorang pendeta yang dihormati, ia memilih jalan baru yang tak biasa. Dari seorang penceramah penuh semangat, ia harus menjalani konsekuensi dari kata-katanya sendiri. Namun di akhir cerita, kita melihat ada proses perenungan dan kemungkinan pertumbuhan.
Meski penuh kontroversi, Yahya Waloni menjadi gambaran jelas tentang proses transformasi mendalam yang dialami seseorang, baik dari segi spiritual, sosial, maupun pribadi.